Belanja produk fashion original hingga kecantikan dan terlengkap di ZALORA. Dapatkan diskon hingga penawaran harga murah khusus untukmu!
Siapa yang tidak kenal blangkon? Penutup kepala tradisional pria Jawa ini lebih dari sekedar aksesoris. Dari upacara pernikahan hingga pertunjukan seni tradisional, blangkon selalu tampil sebagai bagian penting dalam busana adat. Namun, tahukah kamu bahwa blangkon ternyata memiliki variasi yang berbeda, tergantung dari daerah asalnya?
Blangkon Solo dan Jogja, misalnya, meskipun sama-sama berasal dari tanah Jawa, menyimpan keunikan yang begitu khas. Dari bentuknya hingga motifnya, keduanya mencerminkan karakteristik masyarakat masing-masing.
Yuk, kita eksplorasi lebih jauh perbedaan menarik antara blangkon Solo dan Jogja dalam artikel ini! Siap untuk menelusuri lebih dalam mengenai perbedaan di balik lipatan kain tradisional ini? Sebelumnya, ketahui dulu asal usul blangkon berikut ini!
Baca juga : Rekomendasi Kemeja Batik Pria Mewah dan Elegan
Asal Usul Blangkon
1. Aji Saka
Salah satu cerita yang populer mengisahkan Aji Saka, seorang penguasa Tanah Jawa yang dikenal karena keberhasilannya mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa penguasa tanah Jawa. Dalam legenda ini, Aji Saka menggunakan penutup kepala yang sangat besar untuk menutupi seluruh tanah Jawa sebagai simbol kemenangan atas Dewata Cengkar.
Meski demikian, kisah ini tidak secara rinci menjelaskan ukuran atau jenis kain yang digunakan sebagai penutup kepala tersebut. Beberapa orang mengaitkan penutup kepala yang digunakan Aji Saka dengan bentuk awal dari blangkon yang kita kenal sekarang.
2. Ki Ageng Giring
Kisah lain mengaitkan asal-usul blangkon dengan Ki Ageng Giring, seorang tokoh penting dalam sejarah Keraton Mataram. Pada masa itu, banyak penyebar agama Islam yang datang ke tanah Jawa dengan rambut panjang, karena mereka tidak ingin memotong rambut sebagai bentuk penghormatan terhadap anugerah Tuhan.
Sementara itu, dalam budaya Jawa, tidak ada tradisi bagi pria untuk memiliki rambut panjang. Untuk mengatasi masalah tersebut, Ki Ageng Giring mencetuskan penggunaan ikat kepala untuk menutupi rambut panjang tersebut.
Seiring berjalannya waktu, ikat kepala ini berkembang menjadi blangkon yang kita kenal dengan ciri khas mondolan di bagian belakang yang dianggap sebagai simbol ikatan rambut. Di Solo, mondolan blangkon sedikit berbeda, berbentuk gepeng karena para pengikut ajaran Islam di sana telah memotong rambut mereka.
3. Para Pedagang Asal Gujarat
Teori lain menyebutkan bahwa blangkon berasal dari akulturasi budaya Hindu dan Islam yang terjadi di tanah Jawa. Para pedagang dari Gujarat yang sering datang ke Jawa membawa kebiasaan melilitkan kain panjang di kepala mereka yang dikenal dengan istilah sorban.
Hal ini kemudian menginspirasi masyarakat Jawa untuk mengenakan ikat kepala serupa. Seiring waktu, kebiasaan ini berkembang menjadi bentuk blangkon yang lebih khas, sebagai representasi dari pengaruh budaya luar yang masuk ke dalam tradisi Jawa.
4. Krisis Ekonomi
Cerita lainnya menyebutkan bahwa penggunaan blangkon dimulai pada masa krisis ekonomi di tanah Jawa. Sebelumnya, ikat kepala seperti sorban digunakan secara temporer dan tidak permanen. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi dan kain menjadi barang yang langka, para petinggi keraton memerintahkan para seniman untuk menciptakan blangkon yang lebih permanen.
Blangkon ini terbuat dari kain yang lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan sorban, sehingga lebih hemat dan praktis untuk digunakan. Blangkon yang lebih efisien ini kemudian menjadi populer dan bertahan hingga saat ini.
Baca juga : Inspirasi Pose Foto Prewed Tradisional Adat Jawa, Elegan dan Klasik!
Perbedaan Blangkon Solo dan Jogja
1. Motif
Blangkon Solo dikenal dengan motif-motif khas seperti keprabon, kesatrian, perbawan, dines, dan tempen. Berbeda dengan itu, blangkon Jogja menawarkan motif yang lebih variatif seperti modang, blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, wirasat, dan taruntum.
2. Bentuk
Source: Pinterest
Blangkon Solo memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan masa pemerintahan Pakubuwono III, khususnya setelah Perjanjian Giyanti. Sebelum perjanjian ini, blangkon Solo masih menyerupai blangkon Yogyakarta dengan ciri khas adanya mondolan di bagian belakang. Namun, setelah revolusi budaya yang terjadi akibat Perjanjian Giyanti, Pakubuwono III memperkenalkan beragam desain blangkon yang mencerminkan perubahan tersebut.
Blangkon Solo terdiri dari beberapa bagian yang khas. Bagian dalam blangkon disebut congkeng yang menjadi struktur dasar penyangga. Di bagian depan terdapat wiron, yaitu lipatan-lipatan rapi dengan jumlah ganjil. Bagian lainnya meliputi waton, tutupan, lampingan, jebeh, kantong mondol, dan cunduk jungkat..
Blangkon Solo memiliki 6 model. Dari segi bentuk, blangkon Solo memiliki desain yang sederhana karena tidak menggunakan mondolan di bagian belakang. Di mana, dua pucuk helai kain di bagian belakang blangkon Solo diikatkan menjadi satu, menciptakan tampilan yang lebih datar dan minimalis.
Sebaliknya, blangkon Jogja menggunakan mondolan atau tonjolan di bagian belakang yang tidak hanya menjadi ciri khas tetapi juga memiliki makna filosofis. Mondolan ini melambangkan kemampuan seseorang untuk menjaga rahasia dan aib, baik milik diri sendiri maupun orang lain. Filosofi ini mengajarkan pentingnya integritas, kehati-hatian dalam berbicara, dan budi pekerti yang baik. Sehingga, pengguna blangkon Jogja diharapkan bisa merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Blangkon gaya Jogja hadir dalam dua bentuk utama yang khas, yaitu Mataraman dan Kagok. Seperti halnya blangkon Yogyakarta, blangkon ini terdiri dari beberapa komponen, di antaranya wiron atau wiru, yaitu lipatan kain yang rapi pada bagian depan. Kemudian ada mondolan (tonjolan di bagian belakang), serta cetetan dan kemadha yang merupakan detail tambahan yang memperkuat struktur blangkon. Sementara tunjungan adalah bagian akhir yang menjadi penyempurna desain keseluruhan.
Makna simbolis blangkon Jogja
- Wiron/wiru berjumlah 17 yang melambangkan jumlah rakaat shalat dalam satu hari.
- Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya.
- Cetetan memiliki makna permohonan pertolongan pada Allah SWT.
- Kamadha bermakna menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
- Tanjungan mempunyai makna kebagusan atau terlihat lebih tampan.
Rekomendasi Kemeja Batik Pria
1. Dirma Kemeja Batik Pria Premium Slimfit Modern Lengan Pendek
Source: ZALORA
Kemeja batik print dari koleksi Batik Mayung ini memiliki desain modern dengan tampilan yang formal. Didesain berlapis furing, membuat kemeja ini terasa adem dan menyerap keringat, sehingga tidak tembus ke batik. Bahan full katun, dimana katun merupakan bahan kain yang lebih bagus dari polimikro. Baju batik ini sangat cocok untuk dipakai kondangan maupun ke acara formal lainnya.
Baca juga : Warna Kebaya yang Cocok untuk Kulit Sawo Matang
Nah, itulah beberapa perbedaan antara blangkon Solo dan Jogja yang perlu kamu ketahui. Dengan memahami perbedaan ini, kita tidak hanya melihat blangkon sebagai penutup kepala, tetapi juga sebagai simbol kebudayaan yang kaya akan makna dan filosofi yang mendalam.
Mau cari berbagai baju batik pria model terbaru yang elegan dan mewah dengan harga terjangkau? Cek koleksi selengkapnya hanya di ZALORA! Dapatkan promo spesial yang menarik untukmu!

Penulis: Fitrian Nurentama